Kapal-kapal Belanda sejak abad ke-17 sudah mendatangi pelabuhan-pelabuhan Bali, walaupun jumlahnya kecil. Mereka datang untuk berdagang. Pada abad ke-19 pemerintah Hindia Belanda ingin menguasai Pulau Bali untuk memperluas wilayahnya. Pada tahun 1841 Belanda mengadakan perjanjian dengan Raja Buleleng, Klungkung, Karangasem dan Badung. Pada tahun 1844 kapal Belanda terdampar di Buleleng. Seluruh isi kapal dirampas, menjadi milik Kerajaan Buleleng. Hal ini sesuai dengan Hukum Tawan Karang, yaitu hukum adat yang berlaku di Bali. Belanda tidak terima dan menuntut agar Buleleng melepaskan awak kapal Belanda yang ditawan dan mengembalikan harta rampasan. Belanda juga menuntut penghapusan Hukum Tawan Karang serta raja-raja di Bali mau mengakui kekuasaan Belanda dan melindungi perdagangannya di Bali. Kalau tuntutan itu tidak dipenuhi, Bali akan diserang.
Diprakarsai oleh Patih Buleleng, I Gusti Ktut Jelantik, raja-raja Bali menolak tuntutan itu dan siap bertempur menghadapi Belanda. Selain itu, Karangasem juga bersiap-siap membantu Buleleng.
Pada tahun 1846, pasukan Belanda berkekuatan 1.700 pasukan gabungan mendarat di Buleleng dan langsung menyerang perkampungan tepi pantai. Para prajurit dan rakyat Buleleng bertempur mati-matian. Namun, persenjataan Belanda lebih moderen sehingga rakyat Bali terdesak, ibu kota Kerajaan Buleleng (Singaraja) dapat diduduki oleh Belanda. Raja dan Patih I Gusti Ktut Jelantik beserta pasukannya terpaksa mundur ke Jagaraga dan berdamai dengan Belanda. Pihak Belanda menuntut supaya semua benteng kerajaan Buleleng dibongkar, sedangkan pasukan Belanda akan ditempatkan di Buleleng. Raja harus menanggung biaya perang. Raja Karangasem dipaksa membuat perjanjian yang sama.
Perjanjian damai ini hanyalah siasat Buleleng untuk menghimpun kekuatan yang lebih besar agar dapat membalas kekalahannnya. Setelah pasukannya kuat, raja-raja Bali tidak mau menaati perjanjian Belanda. Raja Buleleng, Karangasem, dan Klungkung bersiap-siap menghadapi Belanda. Bahkan, Kerajaan Mengwi dan Badung ikut mendukung. Pos Belanda di Bali diserbu dan persenjataannya di rampas.
Kemenangan yang gemilang menambah semangat juang rakyat Bali sehingga Raja Karangasem, Klungkung dan Mengwi bersatu dengan Buleleng. Mereka giat membangun benteng-benteng baru di Kesumba, Klungkung dan Karangasem. Kekalahan itu membuat Belanda minta bantuan ke Batavia pada tahun 1849. Dari Batavia, Belanda mengirimkan ekspedisinya secara besar-besaran ke Buleleng. Raja Buleleng berusaha mengajak berunding. Namun Belanda menuntut terlalu besar. Belanda menuntut agar I Gusti Ktut Jelantik diserahkan dan Benteng Jagaraga harus dibongkar. Kerajaan Buleleng menolak tuntutan itu. Belanda bergerak menyerbu Benteng Jagaraga. Terjadilah pertempuran sengit antara pasukan Belanda melawan prajurit Buleleng. Serangan Belanda yang pertama dapat dipatahkan dan dipukul mundur. Namun, dalam serangan kedua, pasukan Buleleng terdesak sehingga Benteng Jagaraga jatuh ke tangan Belanda. Prajurit Buleleng banyak yang gugur. Raja Buleleng, Patih I Gusti Ktut Jelantik, dan sisa pasukannya menyingkir ke Karangasem.
Jatuhnya kerajaan Buleleng, menyebabkan raja-raja Bali lainnya bersikap lunak terhadap Belanda, bahkan mersedia membantunya. Raja yang tunduk kepada Belanda antara lain Raja Badung, Jembrana, Mataram, dan Lombok. Raja Karangasem dan Klungkung yang saat itu tidak mau tunduk diserang Belanda bersama raja-raja Bali lainnya yang sudah tunduk. Akibatnya, kedua kerajaan tersebut jatuh ke tangan Belanda. Raja Buleleng dan I Gusti Ktut Jelantik Meloloskan Diri (1849). Dengan demikian, tidak terjadi lagi perlawanan-perlawanan besar di Bali sampai akhir abad ke-19.