Kaum Padri adalah gerakan masyarakat yang ingin menegakkan agama Islam dari tindakan-tindakan yang menyimpang dari ajaran Alquran. Tokoh kaum Padri yang terkenal adalah Tuanku Imam Bonjol, Tuanku nan Cerdik, Tuanku Pasaman dan Tuanku Hitam. Gerakan tersebut muncul di Minangkabau. Sikap itu mendapat tantangan keras dari kaum Adat yang tetap ingin mempertahankan kebiasaannya. Akibat pertentangan itu, masyarakat Minangkabau terpecah menjadi dua kelompok yang saling bermusuhan. Puncak permusuhan itu menyebabkan terjadi Perang Padri. Permusuhan makin sengit ketika kaum Adat meminta bantuan kepada Belanda. Oleh karena itu, kaum Padri juga memusuhi Belanda.
Tuanku Pasaman dengan pasukannya menyerang pos Belanda di Semawang, Soliair, dan Lintau Sipinang pada bulan September 1821. Karena kewalahan, Belanda akhirnya mengerahkan segala kekuatannya dengan dibantu kaum Adat bertempur melawan Tuanku Pasaman. Serangan itu berhasil mendesak Kaum Padri. Belanda pun mendirikan Benteng Front van der Cappelen di Batusangkar.
Pada tanggal 10 Juni 1822 pasukan Belanda di Tanjung Alam diserang Kaum Padri. Pada tanggal 14 Agustus 1822 pasukan Tuanku Nan Renceh menyerang Belanda di daerah Baso sehingga Belanda terdesak. Bahkan, Kapten Goffinet luka parah.
Ketika Raaff menjabat residen, Belanda mengajak damai kaum Padri. Pada tanggal 22 Januari 1824 berhasil mengadakan perundingan damai dengan kaum Padri di Bonjol. Akan tetapi, Tuanku Damasiang menolaknya. Akibatnya, kota Lawas diserang Belanda dan Tuanku Damasian menyerah. Peristiwa itu menimbulkan amarah kaum Padri di Bonjol. Mereka bangkit dan mengobarkan peperangan lagi. Pos Belanda di Saruaso diserbu dan membawa banyak korban di pihak Belanda. Di Tanjung Allam dan Agam terjadi serangan terhadap Belanda pimpinan Kapten Bauer (April 1825).
Meletusnya Perang Padri di Sumatera Barat pada tahun 1825 bersamaan waktunya dengan Pangeran Diponegoro di Jawa Tengah. Kedudukan Belanda bertambah sulit karena harus mengirimkan pasukannya ke Jawa. Belanda kembali mengajak damai kaum Padri dengan menandatangani perjanjian di Padang tanggal 15 Nopember 1825.
Karena pada tahun 1825 di Jawa telah meletus Perang Diponegoro, Belanda mengadakan perjanjian damai dengan kaum Padri yang ditandatangani di Ujung Karang pada tanggal 15 Nopember 1825. Mulai pada saat itu antara Belanda dan kaum Padri melakukan gencatan senjata.
Gencatan senjata antara Belanda dan kaum Padri tidak berlangsung lama karena Belanda ingkar janji sehingga perlawanan berkobar lagi. Pertempuran terjadi di Bonjol dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol, Tuanku nan Gapuk, dan Tuanku Hitam. Pada tanggal 12 Desember 1829 kaum Padri yang dipimpin Tuanku nan Cerdik di Pariaman berhasil mengalahkan Belanda pimpinan Kapten de Richemont. Di pihak Belanda banyak jatuh korban. Sementara itu, kaum Adat yang merasa kalah ditinggalkan oleh Belanda merasa kecewa dan berbalik memusuhinya. Pos Belanda di Padang diserbunya, tetapi mereka kalah.
Karena Pangeran Diponegoro di Jawa sudah selesai, van den Bosch mengirimkan bantuan militer dan persenjataan dari Batavia ke Minangkabau. Di dalamnya ikut Sentot Prawirodirjo dan prajuritnya yang telah menyerah kepada Belanda. Pasukan Belanda yang makin kuat akhirnya dapat mendesak kaum Padri dan menduduki beberapa daerah penting. Kaum Padri terus bertahan dan menyerang pos-pos Belanda yang lemah.
Pada bulan Agustus 1833, Tuanku nan Cerdik terpaksa menyerah kepada Belanda. Dari keterangannya belanda mengetahui pusat kekuatan dan rencana kaum Padri. Belanda akhirnya mengetahui pusat kekuatan kaum Padri yang berada di daerah Bonjol. Oleh karena itu, Belanda segera mengepung Bonjol dari berbagai jurusan. Jalan-jalan yang menuju Bonjol ditutup sehingga pasukan Bonjol terisolasi.
Sampai pada tahun 1836 kaum Padri belum dapat dipatahkan Belanda. Pada tahun 1837 Belanda di bawah pimpinan Kolonel Michiels mengadakan serangan besar-besaran terhadap kaum padri di Bonjol. Kaum Padri berjuang mati-matian mempertahankan Benteng Bonjol. Akibat persenjataan yang kurang, pada tahun 1837 Benteng Bonjol jatuh ke tangan Belanda. Tuanku Imam Bonjol tertangkap dan di buang ke Cianjur dan kemudian dipindahkan ke Minahasa hingga wafat (1864). Tuanku Imam Bonjol dimakamkan di Pineleng dekat Manado.